(Bedah Buku) Rumah Perawan, karya Yasunari Kawabata
Novel Rumah Perawan karya Yasunari Kawabata mengandung gagasan/pendapat yang disimbolkan dengan rapi, dan narasinya tidak membosankan, dan tidak klise. Bagaiamana Kawabata menulis ceritanya?
Perhatikan paragraf pembuka berikut ini.
Dia tidak boleh melakukan apa saja yang tidak senonoh, demikian perempuan itu memperingatkan Eguci tua. Ia tidak boleh memasukan jarinya ke mulut gadis yang lagi tidur, atau melakukan apa saja yang serupa dengan itu. (Halaman 1)
Pembukaan Kawabata seperti di beberapa
kumcernya, menerapkan teknik, pernyataan yang menimbulkan pertanyaan. Walau
kalimat-kalimat di atas mudah untuk dimengerti tapi masih ada ketidak jelasan
“kenapa? Dan Siapa?” Kenapa tidak boleh? Dan siapa dia? Bisa juga dibilang,
pernyataan tanpa alasan. Pernyataannya : Tidak boleh. Lalu muncul pemikiran,
kenapa tidak boleh. Misalkan, seorang murid tidak boleh telat. Dalam benak
pasti akan muncul pertanyaan kenapa tidak boleh telat? Pembaca bisanya selalu menuntut
alasan, menuntut ketidakjelaskan, ia akan mencari dengan membaca lanjutannya. (Bagaimana
menurut kalian?)
Perhatikan kalimat berikut ini.
“Dan janganlah coba membangunkan dia biarpun apa yang tuan lakukan, Tuan tak akan berhasil. Dia tidur pulas dan tidak tahu apa-apa?.” (Halaman 2)
Kalimat di atas merupakan kalimat penjelas
untuk paragraf pertama yang melaranag untuk memasukan tangan ke mulutnya.
Kawabata memancing rasa penasaran pembaca dengan karakter yang aneh/unik,
seorang putri tidur. Namun walau demikian masih saja penasaran, tentang sebab
kenapa wanita bisa tidur lelap dan tak bisa dibangunkan oleh Eguci sebagai
tokoh utamanya, entah apapun yang dicoba lalukan?
Saat Eguci diantar ke sebuah kamar oleh
seorang pelayan, Kawabata menuliskan..
Di buhul obinya ada seekor burung besar dan aneh. (Halaman 3)
(Bagaimana menurut kalian?) Bagi seorang
penulis pemula biasanya, ia akan menuliskan sebuat detail sebanyak-banyaknya
karena ada anggapan atau hanya saya yang menganggap atau memang demikian, bahwa
banyak narasi itu bagus. Narasi yang banyak itu hanya bisa dilakukan oleh
penulis berpengalaman, dan salah satunya adalah menuliskan detail. Tapi saya
menganggap, Kawabata tak sembarang menulis sebuah detail, karena ia biasanya
melampiasakan persaaan tokohnya, atau kekagumannya keindahan wanita, perasaan dan saya menangkap
bahwa ini simbolisme dari alat kelamin Eguci. Seekor burung biasanya
melambangkan alat kelamin laki-laki seperti yang dilakukan oleh Ahmad Tohari di
bukunya, Bekisar Merah.
Perhatikan kelanjutannya.
Ia tidak tahu jenis burung apa itu? (Halaman 3)
Semakin diperjelas dengan tidak diberi
penjelaskan tentang burung itu. Jadi bisa saja burung beneran. (Ya lah masa
burung bohongan.)
Burung itu sendiri tidak menggeliskahkan, hanya desainnya saja yang buruk sekali. (Halaman 3)
Saya menangkapnya kegelisahan itu karena
terangsang, namun burungnya tidak bisa berdiri. Inilah yang saya sebut
sebelumnya bahwa detail itu menggambarkan persaan, pikiran tokoh.
Perhatikan kalimat berikut ini.
Apakah seorang gadis yang tidur lelap, tidak berkata sepatah katapun, tidak mendengar apa-apa, ditegur dan mendengar segala dari seorang lelaki tua yang bagi seorang perempuan tidak lagi bisa dianggap seorang lelaki? (Halaman 13)
Kalimat diatas jelas sekali sebuah pertanyaan.
Dalam dunia fiksi, kerap kita temui pertanyan-pertanyaan, seperti di cerpen Seakan-akan
Tidak Pernah Terjadi, karya Witthayakon Chiangkun penulis Thailand, atau
novel My Name is Red, karya Orhan Pamuk, atau dalam kumcer Cantik Itu
Luka, atau dalam novel Animal Farm. Pertanyaan di selipkan
menyebabkan pembaca asik merenung sendiri, seperti kita hanyut dalam lamunan
tokohnya, dan kita dibuat menebak sendiri.
Kembali ke kalimat di atas, jika diperhatikan
terdapat gagasan. Seorang perempuan tidak lagi menganggap seorang yang
melakukan seks sembarang disebut lelaki. Dalam hali ini, seorang laki-laki yang
tidak bisa menjaga kemaluannya bukanlah laki-laki sejati. Katanlah begitu, atau
begitulah yang saya tangkap. Atau bisa saja, laki-laki yang burungnya tidak
bisa berdiri tidak disebut sebagai lelaki. Melihat dalam kalimat di atas
terdapat kata “lelaki tua.”
Pertanyaan-pertanyaan kembali bermunculan, dan
diselipakan di halaman yang berbeda. Saya hanya menuliskan satu karena kalau
semua akan sangat panjang.
Ketika Eguci yang wakytu itu baru lulus
perguruan tinggi, dan sedang bersama pacaranya. Kawabata menulis.
Ia begitu terpesona oleh kebersihan itu hingga ia menahan nafasnya, dan dari matanya bercucuran air mata. Dan ia merasa ia mengeri apa kebersihan, dan kebersihan rahasia di bagian-bagian rahasia tubuh seorang gadis adalah milik gadis itu sendiri. (Halaman 22)
Sekilas, ada beberapa kali kata kebersihan disinggung secara sengaja untuk
memunculkan kesan. Kita ambil kebersihan dan bagian rahasia. Walaupun dalam hal
ini, kebersihan itu bagian tubuh wanita yang dirwayat, dan dijaga baik. Namun
secara simbolik melambangkan tentang kesucian wanita. Perawan atau sudah tidak
perawan hanya wanita itu yang tahu. Kawabata pandai sekali melihat peluang,
kata orang ekonomi. Bayangkan saja, hanya menjaga kebersihan badan bisa
dijadaikan sebagai perantara untuk menyampaikan pandangan, atau sindiran.
Simbolisme kembali muncul di halaman
selanjutnya dengan mengulang kebersihan. Bahwa kebersihan tidak ada
tandinganya. Gadis itu pasti tidak tahu apa itu kebersihan. Biasanya suatu yang
disimbolkan akan disinggung berulang-ulang. Sebagai pembaca kadang harus jeli,
kenapa hanya bagian ini yang terus diulang
buakn itu? Pengulangan seperti ini bisa juga ditemukan dalam Novel Enest
Hemingway, dalam Lelaki Tua, dan Laut yang mengulang singa-singa yang
berlarian di sepanjang pantai.
Ketika si pelayan penginapan menanyakan
tentang gadis mana yang Eguci suka, ia mengatakan semuanya. Kemduian muncul
pertanyaan.
“Lagipula apa salahnya kalau sembarangan?” (Halaman 34)
Secara sekilas, bahwa kata semabarangan kata
tersbeut mengacu pada sembarangan memilih wanita pelacuran. Yang secara karena
makna semabrang sendiri cukup luas, malah menguatkan halaman 13 bahwa seorang
lelaki yang tidak bisa menjaga kemaluannya bukanlah lelaki sejati, yang
barangkali maksudnya, tidak setia.
Dan biarpun seorang perempuan tidak begitu cantik, ia paling jelita kalau ia lagi tidur. Atau bukan mustahil rumah ini telah memiliki gadis-gadis yang wajahnya cantik sekali terutama kala tidur.
Apa gunanya menuliskan orang tidur? Tapi
ditangan Kawabata, dengan rapi bisa dijadikan tempat untuk menyampaikan gagasan
bahwa orang yang cantik itu ornag yang perawan, tidur dalam hal ini
nafsunya/tidak berhubungan seks sampai menikah. Bagi yang membaca pasti tahu
bahwa gadis-gadis yang berada di rumah penginapan tersesbut semuanya masih
perawan, dan di atas disinggung semuanya cantik. Bagaiamana menurut kalian?
Kawabata bahkan seolah enggan untuk menulis
seperti kebanyakan orang, ia bisa dengan mudah dibedakan dengan penulis-penulis
lain karena menggambarkan kekaguman wanita, ketika orang lain menceritakan
tentang cantik wajah, halus kulit, manis senyum dan lain-lain secara terus
terang, dan menulsikan seksualitas dengan penuh gairah, ia dengan percaya diri
menuliskan dengan tenang, percaya diri menuliskan bau gadis itu bau susu,
kemudian bau manis, bau harum gadis dan sebagainya.
Sebenarnya masih banyak simbol yang ada di
sana, dan karena tidak ingin mengurang i lebih banyak penasaran pembaca maka
cukup sampai di sini saja. Sekian bedah buku Rumah Perawan. Semoga Bermanfaat.
Comments
Post a Comment