Review Novel Scarlet Letter, karya Nathaniel Hawthorne
Judul : Scarlet Letter
Penulis : Nathaniel Hawthorne
Alih Bahasa : Olenka Munif
Penerbit : Narasi
Penyunting : Windy Afianti
Sampul : Acho Makkawaru (Karezona
Design)
ISBN : 979-97564-32-0
Cetakan I : Agustus 2004
Sinopsis : Novel klasik ini bertutur
tentang seorang warnita yang menjadi korban kejamnya sanksi sosial dalam
struktur masyarakat puritan yang hipokrit. Hester Prynne, istri seorang dari
keluarga terpandang, meninggalkan Eropa berlayar menuju Benua Baru, Amerika.
Dia berangkat duluan, suaminya menyusul belakangan. Setelah dua tahun tinggal
seorang diri di Boston, suami Hester tak kunjung datang. Terjadilah tragedi
itu: Hester menemukan cinta sejatinya, hingga melahirkan Pearl, seorang bayi
hasil hubungan gelapnya.
Karena tutup mulut tentang siapa
ayah Pearl, masyarakat menjatuhkan sanksi sosial berupa. “huruf scarlet”
(scarlet letter) sebuah tanda bagi pezina. Namun hukuman yang lebih berat
mengancamnya.
Sanggupkah Hester
dan kekasih gelapnya menanggung akibat dari bara cinta mereka?
Review : Saya tahu Nathaniel Hawthorne
dari kata persembahan buku klasik terkenal, “Moby Dick” Hal itu tentu membuat
saya penasaran tentang sosok, dan karya penulis yang menginspirasi Herman
Melville. Dan saat toko buku loak langganan saya memposting buku karya beliau,
saya langsung memesannya agar tak diambil orang. Bisa dibilang, belum pernah
sekalipun saya membaca karya beliau, yang artinya buku scralet letter merupakan buku pertama karya beliau
yang saya baca. Agak terkejut ternyata buku ini telah berumur lebih dari 150
tahun, terbit pada tahun 1850. Dari jutaan buku, barangkali hanya beberapa yang
bertahan sampai satu abad atau lebih kebanyakan sudah tertelan oleh tren karena
perkemabangan zaman, atau karena tidak banyak manfaat yang didapat.
Kurang lebih buku
setebal 208 halaman dengan kata pengantar yang sangat panjang menceritakan
tetang Hester Prynne, seorang wanita yang mengabdi pada gereja, dan telah hamil
diluar nikah. Ia pertontonkan dengan disuruh berdiri di panggung, lalu dihina,
dan dipaksa menceritakan siapa sosok lelaki yang menghamilinya, atau siapa ayah
dari anak yang dikandungnya. Namun ia tak mau menceritakannya, walaupun semua
orang berkali-kali memintanya. Akhirnya seorang pendeta muda yang menjadi
pembimbingnya dulu, menyelamatkannya dengan tidak menghukum gantung, karena biar
bagaimanapun mati itu urusan Tuhan.
Ia kemudian
mengungsikan diri di tengah hutan, kurang bersoialisasi, dan mengabdikan diri
untuk merawat anak kesayanganya yang diberi nama Pearl.
Salah satu hal
yang cukup menarik tanda scarlet letter yag menjadi sebuah tanda “seorang
pezina atau orang hina.” Harus dikenakan seumur hidupnya. Yang dari teori
sosiologi semasa SMA, kalau tidak salah ini disebut labeling/pemberian cap untuk perilaku penyimpangan
sosial sebagai salah satu upaya pengendalian.
Saya jadi berdfikir,
atau lebih tepatnya membandingkan kehidupan seksual pada tahun 1850, atau tahun
ketika cerita itu dimulai, dengan kehidupan seksual di masa sekarang.
Membaca buku
scarlet letter, seperti melihat benda yang bergeser cukup jauh. Di luar itu,
saya kira seperti kebanyakan buku, diawali narasi dengan kalimat yang
panjang-panjang, atau narasi hampir satu halaman, kemudian biasanya kebanyakan
adalah dialog. Ternyata buku ini malah banyak narasinya daripada dialognaya.
Dan diceritakan dari sudut pandang orang ketiga yang terasa seperti seorang
kakek mendongeng.
Dan memang
demkian, semakin ke belakang. Nilai dari tanda scarlet letter sebagai sebuah
cap hina perlahan-lahan karena perkembangan zaman, sempat dipandang menjadi
sebuah tanda keberanian, tanda cinta, atau tanda biarawati. Orang-Orang mulai
menerima Hester Prynnne.
Sedangkan si
lelaki yang menghamilinya, selama tujuhahun hidup dalam bayang rasa bersalah,
dan penderitaan. Walaupun seorang yang melakukan kejahatan itu tidak dipenjara
ia dengan sendirinya tetap dihukum, merasakan was-was, gugup, curiga, sedih,
bersalah, berdosa, tidak bisa tidur, masa depan mengerilkan yang menantinya dan
sebagainya. Mirip sekali dengan Kejahatan dan Hukuman di novel Dostoevksy. Saya jadi bertanya-tanya apakah Dostoevksy membaca karya beliau?
Mengingat kedua orang ini terpisah oleh bahasa, dan tempat, satunya dari
Russia, dan satunya lagi dari Amerika.
Sekian, sengaja
tidak semua diberitahu agar tidak spoiler, semoga bermanfaat.
Comments
Post a Comment