Review Novel Sampar, Albert Camus
Sampar merupakan sebuah novel karya Albert Camus, seorang penulis yang menerima hadiah nobel sastra pada tahun 1957.
Novel ini bercerita tentang kota Oran, sebuah kota tanpa imajinasi yang tiba-tiba terkena penyakit epidemi, yang dari kata pengantar buku ini oleh N.H Dini merupakan sebuah gambaran saat Perancis dicengekeram Nazi.
Sebenarnya saya sudah membacanya sekitar tahun 2016, namun tidak selesai karena banyak yang tidak saya mengerti. Baru tahun ini saya meniatkan menyelesaikannya. Dan masih saja banyak yang tidak saya mengerti. Seperti yang juga disinggung oleh N.H Dini bahwa membaca Camus itu butuh waktu untuk memahaminya. Tidak bisa sekadar singgah. Masalah setuju atau tidak itu urusan lain.
Sila baca Memahami Gaya Albert Camus Melalui Novel Sampar
Awal-awal mudah dipahami, dan gaya kepenulisan Albert Camus menurut saya ringan seperti seorang teman lama yang baru pulang menceritakan pengalaman menyedihkan.
Cerita berfokus pada Dokter Rieux, dimana ketika membuka pintu apartemen ia tak sengaja menyandung seekor tikus mati. Bagi penjaga gedung itu merupakan hal aneh, tidak ada seekor tikuspun di apartemen, dan bila ada itu pasti ulah iseng orang. Namun semakin lama semakin banyak tikus yang mati, bahkan tidak hanya di apartemennya, namun juga di rumah-rumah penduduk.
Kematian mendadak tikus-tikus itu ternyata membawa sebuah penyakit sampar. Penyakit itu menular ke penjaga gedung, para warga dan tak peduli apakah itu anak-anak atau bukan. Kematian hampir tak bisa dicegah karena tak adanya serum.
Alhasil sebuah kota yang tenang menjadi sebuah kota yang mati. Toko-toko tutup, orang-orang saling mencurigai, dan tidak ada seorangpun yang boleh keluar kota.
Pada mulanya Dokter Bernard Rieux bekerja sendiri, kemudian munculah Torrou sahabatnya yang kemudian tinggal bersama. Mereka mengurusi para korban sampar di tenda-tenda. Hingga perlahan penyakit itu menimpa orang-orang terdekat: anak jaksa Othon, hingga yang terkahir Torrou, sahabat baiknya.
Albert Camus saya pikir fokus pada gagasan dalam tulisannya karena berterbaran mungkin di setiap bab, hingga halaman. Dan setelah selesai membaca ini saya malah menangkap bahwa perang adalah sebuah penyakit. Mungkin seperti itu sudat pandang Dokter Rieux.
Perang membunuh seorang sedikit demi sedikit, dan perlahan-lahan. Walaupun perang dunia telah berakhir, bibit-bibit perang/penyakit itu masih ada, dan kapan saja bisa menyerang sebuah negeri yang damai.
Bukankah zaman sekarang saja masih ada perang?
Saya tidak begitu tertarik dengan perang karena mungkin tidak terlahir di zaman perang. Namun buku ini bisa menjadi semacam pengingat agar sesuatu yang menyedihkan tidak terulang lagi.
Semoga bermanfaat. Terimakasih sudah mampir.
Novel ini bercerita tentang kota Oran, sebuah kota tanpa imajinasi yang tiba-tiba terkena penyakit epidemi, yang dari kata pengantar buku ini oleh N.H Dini merupakan sebuah gambaran saat Perancis dicengekeram Nazi.
Sebenarnya saya sudah membacanya sekitar tahun 2016, namun tidak selesai karena banyak yang tidak saya mengerti. Baru tahun ini saya meniatkan menyelesaikannya. Dan masih saja banyak yang tidak saya mengerti. Seperti yang juga disinggung oleh N.H Dini bahwa membaca Camus itu butuh waktu untuk memahaminya. Tidak bisa sekadar singgah. Masalah setuju atau tidak itu urusan lain.
Sila baca Memahami Gaya Albert Camus Melalui Novel Sampar
Awal-awal mudah dipahami, dan gaya kepenulisan Albert Camus menurut saya ringan seperti seorang teman lama yang baru pulang menceritakan pengalaman menyedihkan.
Cerita berfokus pada Dokter Rieux, dimana ketika membuka pintu apartemen ia tak sengaja menyandung seekor tikus mati. Bagi penjaga gedung itu merupakan hal aneh, tidak ada seekor tikuspun di apartemen, dan bila ada itu pasti ulah iseng orang. Namun semakin lama semakin banyak tikus yang mati, bahkan tidak hanya di apartemennya, namun juga di rumah-rumah penduduk.
Kematian mendadak tikus-tikus itu ternyata membawa sebuah penyakit sampar. Penyakit itu menular ke penjaga gedung, para warga dan tak peduli apakah itu anak-anak atau bukan. Kematian hampir tak bisa dicegah karena tak adanya serum.
Alhasil sebuah kota yang tenang menjadi sebuah kota yang mati. Toko-toko tutup, orang-orang saling mencurigai, dan tidak ada seorangpun yang boleh keluar kota.
Pada mulanya Dokter Bernard Rieux bekerja sendiri, kemudian munculah Torrou sahabatnya yang kemudian tinggal bersama. Mereka mengurusi para korban sampar di tenda-tenda. Hingga perlahan penyakit itu menimpa orang-orang terdekat: anak jaksa Othon, hingga yang terkahir Torrou, sahabat baiknya.
Albert Camus saya pikir fokus pada gagasan dalam tulisannya karena berterbaran mungkin di setiap bab, hingga halaman. Dan setelah selesai membaca ini saya malah menangkap bahwa perang adalah sebuah penyakit. Mungkin seperti itu sudat pandang Dokter Rieux.
Perang membunuh seorang sedikit demi sedikit, dan perlahan-lahan. Walaupun perang dunia telah berakhir, bibit-bibit perang/penyakit itu masih ada, dan kapan saja bisa menyerang sebuah negeri yang damai.
Bukankah zaman sekarang saja masih ada perang?
Saya tidak begitu tertarik dengan perang karena mungkin tidak terlahir di zaman perang. Namun buku ini bisa menjadi semacam pengingat agar sesuatu yang menyedihkan tidak terulang lagi.
Semoga bermanfaat. Terimakasih sudah mampir.
Comments
Post a Comment