(Opini) Riset Kecil Budaya Baca di Sekitar Kita

source: flickr
Saya lupa tanggalnya, namun saya ingat itu malam hari. Di teras depan rumah, saya membaca kumcer Cerita-Cerita Telapak Tangan karya Yasunari Kawabata, kedua teman saya yang lewat, mendadak berhenti karena melihat saya, lalu mampir. Karena mereka mengajak mengobrol tentu tak sopan bila mengabaikan, saya menutup buku dan meletakannya di atas meja. Seorang yang masih duduk di SMA melihat buku tadi dengan terheran, sebentar mengambil, menimbang, lalu meletakannya kembali, dan bertanya apakah saya suka baca buku? Tentu saja saya jawab jujur: Ya. Setebal ini? Tanyanya lagi, jawaban saya tetap sama. Ia lalu menggeleng-geleng. Bagi saya terkesan seolah-olah ia tak habis pikir bagaiamana mungkin seorang lelaki kalau boleh dibilang sangat suka baca buku, bukankah itu hanya hobi yang dimiliki perempuan. Entah kenapa saya merasa bahwa hal itu membuat saya terkesan culun atau sejenisnya, tapi saya tak begitu peduli.
Tapi itu bukan kejadian satu-satunya, saat kerja saya selalu membawa minimal sebuah buku di dalam tas, sebab ada niat membaca saat jam istirahat. Dan benar, saat jam istirahat itu, saya duduk di teras depan kantor, dan membaca buku John Steinbeck. Teman saya bercerita kalau sudah pusing dulu liat buku novel.
"Bapak tidak tahu John Steinbeck?" Tanya saya.
"Siapa?": katanya. "Nama aneh gitu."
"John Steinbeck yang dapat nobel sastra, pengahargaan dunia."
"Tidak tahu, kalian tahu ?"
Kedua teman saya yang lain tentu saja menggeleng.
Dari situ saya menyimpulkan bahwa hanya saya yang suka baca novel, sebab bagi sebagian orang dan ia sempat bercerita kalau lebih penting membaca buku ilmu pengetahuan, atau pelajaran daripada fiksi, tidak ada manfaatnya.
Dua hal itu sudah dapat menyimpulkan bahwa minat baca sekitar saya khususnya buku fiksi sangat minim. Mungkin suatu saat membaca buku fiksi, itu hanya wajar untuk anak-anak.
Baiklah, kita beralih ke selain fiksi, suatu ketika saat saya akan memutuskan untuk ngeblog, dan alhamdulillah diterima adsenses bulan februari 2019, saya sempat sedikit riset, tanya pada teman saya si A, yang saya tahu dia suka sepak bola, saat mencari informasi terbaru seputar sepak bola, dimana ia mencarinya? Ia menjawab di You Tube, atau platform video lain. Bagaimana bila membaca artikel di pencarian google? Ia mengatakan jarang, sangat jarang. Bahkan kalau ada rekomendasi di apps seperti operamini ia tidak mengkliknya.
Waktu itu saya pikir, ini hanya satu sampel. Jadi saya tanya pada teman yang lain, Si B, dan ia mengatakan hal yang sama, bahwa lebih suka menonton daripada membaca. Dan suatu ketika teman saya si C merekomendasikan untuk mengikuti channel youtube bola, dan seketika itu juga saya tanya kalau baca berita? Tidak pernah, ogah. 
Saya pikir tidak semua seperti itu, namun mungkin sebagian besar, lebih suka mendapatkan informasi dalam bentuk audio visual/video daripada artikel. 
Bukankah yang menonton film itu sering lebih banyak daripada yang membaca novel yang difilmkan tersebut? Cerpen anakpun sekarang mulai merambah, ke animasi. Ya pelan-pelan budaya baca tergerus, dan bergerser ke budaya menonton. Meskipun tak bisa menghilangkannya. Menurut saya tak apa selama apa yang ingin disampaikan penulis tercapai, dan selama itu memuaskan konsumen. Namun tetap saja tulisan dan video memiliki gaya seni berbeda, kreatifitas yang berbeda, dan sensasi yang berbeda. Dan yang jelas, keduanya bisa saling menguatkan, apabila sebuah film/animasi, juga dibuat dalam bentuk buku. Sebab dari pengamatan saya, banyak orang yang membeli buku dari film yang disukainya. Seperti misalnya, AADC, dan banyak film luar negeri yang sangat terkenal, kemudian di Indonsia versi bukunya diterjemahan, lalu dengan mudahnya laris manis.
Sekian, semoga bermanfaat.

Comments

Popular posts from this blog

Buku Bukan Pasar Malam Sempat Dilarang Beredar

Review Novel Scarlet Letter, karya Nathaniel Hawthorne

Review Buku Kafka On The Shore, Haruki Murakami