Buku Bukan Pasar Malam Sempat Dilarang Beredar

Bukan Pasar Malam
Bukan Pasar Malam
Berbeda dengan buku Bumi Manusia, buku Bukan Pasar malam karya Pramodeya Ananta Toer ini terkesan kurang menarik, karena sangat tipis, hanya 104 halaman. Saya kira ini buku kumpulan cerita pendek, ternyata novel.

Buku yang saya baca ini diterbitkan oleh Lentera Dipantara, cetakan ke 6, pada bulan Mei tahun 2007. Menurut catatan yang ada di buku, novel bukan pasar malam ini pernah dilarang pada tanggal 30 November 1965, dan sebelumnya pernah diterbitan beberapa kali oleh:

1. Balai Pustaka, 1951, cetakan pertama sampai dengan 1959 cetakan kedua, untuk edisi bahasa Indoensia.
2. Yayasan kebudayaan Sadar, cetakan ke 3, tahun 1964, untuk edisi bahasa Indonesia.
3. Journal Indonesia no 15, April 1973, edisi Amerika dnegan judul It’s not All Night Fair.
4. Abbas Bandung, tahun 1976 untuk edisi Malaysia.
5. Horleman, pada tahun 1993, untuk edisi Jerman dengan judul, Mensch Fur Mensch.
6. De Geus, pada tahun 1998 untuk edisi Belanda dengan judul En Konde Kermis,
7. Bara Budaya, pada tahun 1999 untuk edisi bahasa Indoensia.
8. Diterbitkan lagi oleh De Geus, pada tahun 2001.
9. Dan oleh Equinox, pada tahun 2001, dengan judul It’s not An All Night Fair, untuk edisi Singapura.

Dari data di atas bila mengambil yang pertamakali menerbitkan tahun 1951, maka buku ini adalah buku yang dibuat/diterbitkan sebelum novel bumi Manusia yang ditulis tahun 1975.

Ada enambelas bab dalam buku ini. Dari bab awal kita sudah disuguhkan dengan seorang anak revolusioner yang menerima surat dari ayahnya, yang menginginkan anak pertamanya itu untuk pulang. Tapi tak ditanggapi olehnya, sehingga dua tahun kemudian datang surat lagi namun bukan dari ayahnya melainkan dari pamannya yang memberitahu kalau ayahnya sakit tbc dan telah empat kali muntah darah.

Si anak kemudian terfikir untuk pulang kampung menemui ayahnya, namun teringat kalau ia tak punya uang. Iapun pergi mencari utangan ke sana kemari, dan beruntungnya ada teman yang mau mengutanginya beberapa menit sebelum maghrib.
“Tapi bila engkau tak punya uang, engkau akan lumpuh tak bisa bergerak.” (Halaman 10)  
Si anak lelaki akhirnya pulang kampung menggunakan kereta dari stasiun gambir. Di saat memandangi pemandangan di luar jendela ia terkenang kejadian-kejadian di masa perjuangan.
Dan seklias teringat olehku; pasukan pemuda yang terdesak oleh kekayaan senjata pasukan asing sampai di seberang kali Cakung. (Halaman 13)
Dan di sawah-sawah itu dahulu, kadang-kadang kapal capung Belanda melempari petani dengan granat tangan. (Halaman 13)
Ketika kereta sampai di Lemah Abang si anak kemudian terkenang akan serangan Belanda yang menembakan meriam pada manusia yang melarikan diri. Di luar itu semua sang anak terbayang-bayang dengan kondisi ayahnya.

Belum sampai di tempat ayahnya, si anak sudah diberi pesan oleh istrinya agar nanti jangan lama-lama di sana.

Di sini si anak, dan istrinya telah sampai di Semarang, menginap sebenetar sebelum akhirnya melanjutkan dengan kereta lain.

Mereka berangkat ke stasiun pada subuh-subuh. Dan si anak terbayang-bayang akan desa, kemiskinan dan ayah. Sampai di rumah dengan menggunakan dokar, mereka sudah disambut. Adik-adik si anak pertama itu berseru riang, dan kemudian menjauh saat melihat ada sosok asing, yaitu istri kakaknya itu. Ya, mereka bahkan tidak tahu kalau kakaknya telah menikah, bahkan ayahnya.

Di sinilah si anak sulung kemudian menumpahkan segala pertanyaannya tentang kabar bapaknya, kirimannya apakah telah sampai.

Ternyata sang ayah tidak doyan makan. Sedangkan adiknya yang ketiga itu juga sakit, badannya kurus, di sini tak dijelaskan sakit apa, tapi jika dilihat ayahnya sakit TBC, barangkali tertular sang ayah.

Mereka kemudian mengunjungi ayahnya ke rumah sakit yang jauhnya duakilometer menggunakan dokar. Dan ayahnya tersenyum-senyum melihat anak pertamanya itu akhirnya datang. Di saat mereka berbasa-basi tentang kedatangan itu, akhirnya si anak sulung mengenalkan istrinya. Namun kedekatan itu sirna karena sang ayah batuk, dan ia menyuruh untuk menjauh.

Melihat sang ayah dengan tubuh seperti sebilah papan, dan tempat dahak bercampur darah, ia berfikir akan kehilangan ayahnya.

Saat sang adik yang menemani mereka ke rumahsakit pulang, ia menangis. Dan pada esoknya sang paman, serta bibinya datang. Setelah berbasa-basi sejenak, sang Paman kemudian menyarankan untuk mencari pertolongan pada dukun. Di sini si anak sulung menjadi bingung dengan pekerjaan yang ditinggalkan, dan kesehatan ayah.

Saat masih dibingungkan dengan nasib pekerjaannya, dan ayahnya, ia bertemu dengan seorang tetangga. Ia menyarankan untuk merenovasi rumah karena sudah lama. Si anak tentu saja bingung, ia pulang kampung saja utang, sekarang meronavasi rumah. Uang darimana? Tapi sang anak mengatakan pada ayahnya kalau akan merenovasi rumah. Caranya? Entah.

Akhirnya sang anak dan paman mencari jalan lain agar ayahnya sembuh yaitu pergi ke dukun. Sebenarnya dukun di sini adalah seorang guru di luar kota. Setalah sampai di sana, dan berbasa-basi akhirnya mereka mengungkapkan maksdunya ingin meminta pertolongan karena ayahnya sudah lama sakit. Si dukun memeberikan bunga untuk direndam di air minum ayahnya. Nah di sini ada sesuatu yang cukup menarik, Pramoedya Ananta Toer memasukan humor ke dalam karyanya, dengan cerita pengalaman seorang guru tersebut yang mendidik anak nakal.

Artikel Terkait Bongkar Rahasia Novel Bukan Pasar Malam

Si anak kembali menengok ke rumah sakit dengan istri dan kedua adiknya. Di sana si menantu menyuapi mertuanya. Melihat itu si anak terharu.

Dan di kala itu terasa oleh hatiku betapa gampangnya manusia dengan manusia ini didekatkan oleh kemanusiaan.

Si sulung tiba-tiba teringat percakapan dengan istrinya semalam kalau mereka harus kembali ke Jakarta karena keuangan tidak memungkinkan. Tapi sang ayahnya meminta untuk menemani seminggu lagi.

Satu minggu kemudian, kesehatan sang ayah semakin memburuk. Seperti sebelum-sebelumnya ia meminta es, dan hanya mau makan es. Padahal es tidak dibolehkan oleh dokter, namun karena ingin menyenangkan hati ia memberikannya. Dan di sini si ayah giliran yang bertanya kenapa tidak pulang, apakah tidak mengganggu pekerjaan? Si anak tak tega melihat ayahnya, dan ia mengatakan akan tinggal sebentar lagi.

Akhirnya sang ayah dibawa pulang ke rumah sakit dengan mobil ambulan. Sang dokter mengatakan kalau kesehatan ayahnya tidak bisa diharapkan, atau sebenarnya bisa hanya saja lama sekali. Dan ketika sampai di rumah seperti kebiasaan orang-orang kampung, para tetangga berdatangan untuk menengok lalu mengobrol di depan orang yang sakit.

Pada bab duabelas, si anak dan istrinya berterngkar karena sang istri menyarankan untuk pulang dulu melihat keadaan keuangan yang tidak memungkinkan. Namun si anak tidak mau, ia ingin keadaan beres semua.

Dupa yang selama ini dicelupkan di air minum tak membuat keadaan sang ayah membaik.

Ketika sang anak mengopi adaiknya datang dan memberitahu kalau ayahnya telah meninggal. Sehingga para pelawat berdatangan. Malam harinya, rumah mereka dikerubungi oleh orang-orang yang berjaga. Beberapa di antaranya teman si ayah.
“Tak ada yang begitu kuat berjudi selain dia.” (Halaman 93)
Di sini, Pramoedya memasukan unsur humor kembali tentang masa lalu teman-teman ayahnya yang para penjudi.

bukan pasar malam
Designed by Pinnacleanimates / Freepik

Dan dalam kesedihan ceritanya itu Pramoedya kembali memasukan unsur komedi saat di kuburan. Dan tak kurang dari duaribu orang yang datang dalam pemakaman tersebut. Satu persatu ornagpun pergi dan hanya tinggal si anak dan adik-adiknya.

Dan di dunia ini, manusia bukan berduyun-dudyun lahir di dunia, dan berduyun-duyun pula kembali pulang. Seorang-seorang mereka datang. Seorang-seorang mereka pergi. Dan yang belum pergi dengan cemas-cemas menunggu saat nyawanya terbang entah kemana....

Dari cerita tersebut, saya rasa buku ini cocok bagi yang ingin mengenal Pramoedya Ananta Toer, dan bagi yang hanya punya sedikit waktu luang untuk membaca, karena tipisnya buku, dan cukup mudah diapahami. Pramoedya sangat pandai dalam menggambarkan kondisi Indonesia pada tahun itu, dan bagaimana diksi-diksi yang mengena, dan membuat pembaca sadar, dan yang lebih membuat menarik lagi unsur humor di dalamnya yang berhasil dibuat nyengir.

Selain, tentu saja beberapa hal yang barangkali sudah tidak efektive lagi di jaman sekarang dimana si narator menjadi hakim, penentu baik, dan buruk ceritanya.

Demikian semoga bermanfaat.

Comments

Popular posts from this blog

(Review Buku) Rumah Perawan, karya Yasunari Kawabata

Review Buku Kafka On The Shore, Haruki Murakami